a. Emotional Intellegensi
1)
Definisi Emotional Intelligence
Menurut
Salovey dan Mayer, emotional intelligence yaitu himpunan
kecerdasan sosial untuk memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang
lain, memilah-milah semuanya
dan
menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan
tindakan.[1]
Menurut Baron sebagaimana dijelaskan oleh
Goleman, emotional intelligence adalah serangkaian kemampuan pribadi, emosi dan sosial yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil dalam
mengatasi tututan dan
tekanan lingkungan.[2]
Setelah
mempelajari beberapa pengertian diatas
maka
peneliti menyimpulkan bahwa
emotional intelligence
adalah kemampuan seseorang untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri,
memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan (kerjasama)
dengan orang
lain.
2)
Faktor-faktor Emotional Intelligence (EI)
Faktor
yang mempengaruhi emotional intelligence anak yang pertama adalah
faktor internal yaitu
berasal dari dalam diri anak itu sendiri. Kemudian yang
kedua adalah faktor eksternal yaitu berasal dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan
lingkungan sosial masyarakat
(sistem sosial).
a)
Faktor pertama,
faktor yang berasal dari dalam diri anak itu sendiri
(internal).
Goleman
menjelaskan bahwa faktor internal dipengaruhi
oleh keadaan otak emosional seseorang, ketika bagian-bagian otak yang memungkinkan
merasakan otak emosi (amigdala) rusak, kemampuan rasional (intelek) tetap utuh.
Ketika seseorang dalam kondisi traumatis, dengan rusaknya otak emosi,
ia masih dapat berbicara, menganalisa, bahkan dapat memprediksi
bagaimana ia
harus bertindak dalam situasi. Tapi dalam keadaan tragis, yang demikian itu anak tidak dapat berinteraksi dengan orang lain secara layak sehingga rencana yang telah disusun tidak dapat dijalankan.[3]
b)
Faktor kedua
yaitu faktor eksternal atau yang berasal dari
luar diri manusia.
Faktor
dari luar yang mempengaruhi emotional
intelligence anak antara lain lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan
lingkungan sosial masyarakat
(sistem sosial).
Muhammad
bin Ibrahim Al-Ahmad mengatakan apabila seorang anak berada pada pedidikan rumah dengan akhlak yang
buruk, dan berada pada
pendidikan yang keliru,
maka anak tersebut akan tumbuh
dan berkembang dengan kepribadian yang rendah.[4]
Lingkungan
keluarga merupakan tempat pertama seorang anak mendapatkan pendidikan.
Kurangnya pendidikan di lingkungan keluarga akan menyebabkan seorang anak akan tumbuh menjadi pribadi yang buruk. Anak yang broken home sering kali
memiliki prilaku yang lebih
buruk dari pada anak yang lingkungan keluarganya harmonis.
Selanjutnya
yaitu lingkungan sekolah. Menurut
Etzioni, yang
dukutip oleh Goleman menyatakan bahwa sekolah berperan sentral dalam membina karakter dengan menanamkan disiplin diri dan empati, yang
pada
gilirannya memungkinkan keterlibatan tulus terhadap nilai peradaban dan moral.[5]
Sekolah adalah tempat
bagaimana seorang anak
itu beradaptasi
dengan lingungan sekitarnya dan
berinteraksi dengan teman sebayanya. Disnilah seorang
anak akan mengasah kemampuan emosi mereka.
Faktor
eksternal yang selanjutnya yaitu lingkungan sosial masyarakat (sistem
sosial). Lingkungan sosial masyarakat merupakan tempat
dimana seorang anak bisa berinteraksi
dengan orang
lain. Linkungan sosial juga mempengaruhi perkembangan psikis dan mental anak. Jika lingkungan
yang mereka tempati
itu merupakan
pemukiman
yang tinggi
tingkat kriminalitasnya,
maka seorang anak akan lebih gampang
tergoda
berbuat jahat
dan kejam, begitupun sebaliknya.[6]
Dengan demikian maka dapat dipahami pentingnya lingkungan sosial masyarakat yang baik dalam membentuk kecerdasan
emotional atau emotional intelligence,
dalam arti mendukung perkembangan anak agar mempunyai kecerdasan emosi yang
positif.
Dari pemaparan
diatas dapat peneliti simpulkan bahwa emotional intelligence
atau kecedasan emosional dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang berasal dari diri sendiri (internal) dan
dari luar (eksternal).
3)
Indikasi-indikasi
Emotional Intelligence (EI)
Indikasi yaitu tanda-tanda yang menarik perhatian atau
petunjuk.[7]
Indikasi-indikasi Emotional Intelligence yaitu tanda-tanda seseorang memiliki kecerdasan
emosional.
Goleman mengutip dari
Salovey mengemukakan lima indikasi emotional intelligence yaitu:
a.
Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan
suatu kemampuan untuk mengenali
perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini
merupakan dasar dari Emotional Intelligence, para ahli psikologi
menyebutkan kesadaran
diri sebagai metamood, yakni
kesadaran
seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer kesadaran diri adalah
waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang
suasana hati, bila
kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi. Kesadaran diri memang
belum menjamin
penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting
untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai
emosi.[8]
b. Mengelola
Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar
dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga
tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap
terkendali merupakan
kunci menuju kesejahteraan emosi.
Emosi berlebihan, yang
meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kesetabilan kita. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan,
kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.[9]
c. Memotivasi
Diri Sendiri
Presatasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam
diri individu, yang
berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap
kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta
mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.[10]
d. Mengenali
Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Menurut Goleman kemampuan seseorang
untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan
empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial
yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang
lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang
lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang
lain.[11]
e.
Membina Hubungan
Kemampuan dalam
membina hubungan merupakan
suatu keterampilan yang menunjang popularitas,
kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi.[12] Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam
keberhasilan
membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.[13]
b. Efektifitas Metode
Learning by Doing untuk Pengembangan Emotional Intellegence
Metode learning by doing artinya
adalah metode pengajaran dengan cara siswa diajak untuk melakukan, melihat,
mendengar, merasakan secara langsung objek yang sedang dipelajari, dengan kata
lain mempraktekkanya, sehingga siswa benar-benar memahaminya.
Dengan metode Learning by Doing, siswa mampu
untuk menvisualkan hal-hal yang abstrak dan juga melatih berfikir kritis bagi
siswa. Jadi penerapan metode Learning by Doing dalam pembelajaran akan
mampu meningkatkan hasil belajar siswa pada materi sosial emosional.
Emotional
Intelligence adalah kemampuan siswa untuk mengenali
emosi diri, mengelola emosi diri, memotivasi
diri sendiri, mengenali emosi orang
lain (empati) dan kemampuan
untuk membina hubungan (kerjasama)
dengan orang
lain.
Emotional intelligence mencakup kemampuan untuk berinteraksi dengan orang
lain yang didalamnya terjadi berbagai hal yang perlu disikapi dengan bijaksana.
Kemampuan tersebut tidak serta merta muncul dengan sendirinya. Perlu suatu
pendekatan-pendekatan yang mengarah pada penerapan hubungan dengan orang lain.
Diantara
pendekatan yang paling sesuai untuk anak usia pra sekolah adalah dengan
menerapkan metode yang melibatkan antar peserta didik untuk bersama-sama
belajar. Berawal dari penerapan metode tersebutlah anak akan terbiasa
berinteraksi dengan temannya.
Penerapan metode
learning by doing merupakan metode yang tepat untuk mendorong anak
terbiasa berhubungan dengan temannya. Sebab penerapannya menuntut anak bersama
temannya bekerja sama memahami apa yang menjadi materi pembelajaran.
1. Hipotesis
Berangkat
dari uraian
di atas, maka peneliti merumuskan jawaban sementara yang biasa disebut
hipotesis.[14] Adapun hipotesis peneliti rumuskan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
“Penerapan metode
learning by doing efektif
dalam mengembangkan emotional intellegence siswa di
Raudlatul Athfal Maslakul Falah
desa Arumanis
Kec. Jakenan Kab. Pati Tahun
Pelajaran 2014/2015”
[2]
Daniel Goleman, Working With
Emotional
Intelligence, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005), 180.
[4]
Muhammad bin Ibrahim Al-Ahmad. Akhak-akhlak Buruk. Terj. Cet 1.
(Bogor: Pustaka Darul Ilmi, 2007), 82.
[7]
http://kbbi.web.id/indikasi, 12/4/2014.
[11] Goleman, 58.
[14] Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 67.
No comments:
Post a Comment